5 MASALAH DASAR DALAM HIDUP YANG MENENTUKAN ORIENTASI NILAI BUDAYA MANUSIA
Nisa Armila Gunawan (19310410076)
Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar
Prodi
Psikologi, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Dosen Pengampu
Dr. Arundati
Shinta/Amin Nurohmah, S.Pd., M.Sc
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang menjadikan pedoman serta prinsipprinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterkaitan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud nilai budaya menurut Koenjaraningrat (1986) adalah nilai budaya terdiri dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mampengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan yang tersedia.
F. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2009) mengembangkan nilai budaya kedalam lima masalah yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, diantaranya: a) masalah hakikat hidup (MH), b) masalah hakikat dari karya manusia (MK), c) masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW), d) masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA) dan e) masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM) dalam (Hanapi, 2017). Mengenai kelima masalah tersebut Koentjaraningrat (2009) dalam (Hanapi, 2017) menjelaskan; yang pertama tentang hakikat hidup (MH), bahwa setiap kebudayaan berbeda dalam cara memandang hidup, ada yang memandang bahwa pada hakikatnya hidup manusia merupakan hal buruk dan menyedihkan sehingga hal itu harus dihindari, ada pula kebudayaan yang memandang bahwa hidup manusia itu buruk akan tetapi manusia dapat mengusahakannya menjadi baik.
Selanjutnya mengenai masalah hakikat dari karya manusia (MK) dijelaskan bahwa ada kebudayaan yang memandang karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan meningkatnya nilai hidup, ada juga kebudayaan yang menganggap bahwa hakikat dari karya manusia itu adalah untuk memberikan suatu kedudukan penuh kehormatan dalam masyarakat, dan ada pula kebudayaan yang menganggap bahwa hakikat karya manusia sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan banyak karya lagi. Lebih lanjut Koentjaraningrat menjelaskan tentang masalah ketiga yakni masalah kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW), ada kebudayaan yang memandang pentingnya masa lampau dalam kehidupan manusia, sehingga masyarakatnya menggunakan contoh-contoh atau kejadian- kejadian dimasa lampau untuk menjadi pedoman dalam hidupnya. Ada juga kebudayaan yang mempunyai pandangan waktu yang sempit, mereka tidak memusingkan diri mereka tentang masa lampau dan masa yang akan datang, dan ada juga kebudayaan yang justru mementingkan pandangan yang berorientasi terhadap masa depan, sehingga perencanaan hidup menjadi suatu hal yang sangat penting bagi mereka.
Masalah keempat, tentang hakikat hubungan dari manusia dengan alam sekitarnya (MA), Koentjaraningrat (2009) dalam (Hanapi, 2017) menjelaskan bahwa ada kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya dapat menyerah saja tanpa berusaha banyak, sebaliknya ada pula kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang dapat dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam, serta ada pula kebudayaan yang menganggap bahwa manusia hanya dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam. Selanjutnya masalah terakhir tentang hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM), dijelaskan bahwa ada kebudayaan yang mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya, dimana tingkah laku dalam keseharian mereka senantiasa berpedoman kepada tokoh-tokoh, pemimpin atau senior. Ada pula kebudayaan yang lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya yang menjadikannya setiap orang dalam kebudayaan tersebut akan sangat bergantung pada sesamanya. Bahkan ada kebudayaan yang tidak membenarkan adanya anggapan bahwa manusia dalam hidupnya tergantung pada orang lain, kebudayaan seperti ini sangat mementingkan individualisme dimana manusia harus berdiri sendiri dan sedapat mungkin mencapai tujuan hidup tanpa bantuan orang lain.
Referensi:
Hanapi, Ningsi. (2017). Jurnal Riset dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan: Nilai Budaya Komunitas Bajo dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Life Skill. Volume 02, Nomor 1
Koentjaraningrat. (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pelly, Usman. (1994). Teori-Teori Ilmu Sosial Budaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Penyusun, Tim. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Sumber Gambar:
https://www.slideshare.net/tegarae/orientasi-nilai-budaya (diakses pada 24 Oktober 2021)
Komentar
Posting Komentar